Bahwa perjalanan
Isra’ Mi’raj yang luar biasa itu bukan kehendak Rasulullah saw sendiri,
melainkan kehendak Allah. Allah-lah yang telah memperjalankan Rasulullah saw.
Nabi saw tidak mungkin bisa melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj atas kehendak
beliau saw sendiri. Karena itu Allah mengutus Malaikat Jibril as untuk membawa
Nabi saw melanglang ’ruang’ dan ’waktu’ di dalam alam semesta
ciptaan Allah. Jibril as sengaja dipilih oleh Allah untuk mendampingi perjalanannya
mengarungi semesta, karena Jibril as adalah makhluk dari langit ke-7 yang
berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Malaikat Jibril as bisa membawa
Rasulullah saw melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata. Perjalanan itu
dilakukan dengan mengendarai Buraq, yaitu makhluk berbadan cahaya yang berasal
dari Alam Malakut, yang dijadikan tunggangan selama perjalanan tersebut. Buraq
berasal dari kata barqun yang
artinya kilat. Maka, ketika
menunggang Buraq itu, mereka bertiga melesat dengan kecepatan cahaya, sekitar
300.000 km/detik. Kecepatan cahaya
adalah kecepatan yang paling tinggi di alam semesta, di dalam ilmu Fisika
Modern, kecepatan yang setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda.
Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan cahaya.
Benda yang tanpa bobot atau tanpa massa saja yang bisa mencapai kecepatan cahaya yang dinamakan Photon (penyusun badan cahaya malaikat).
Photon adalah benda yang tidak memiliki bobot, photon adalah kwantum-kwantum
penyusun cahaya yang bisa mencapai kecepatan cahaya. Elektron yang bobotnya
dikatakan hampir nol pun, tidak bisa memiliki kecepatan cahaya karena masih
memiliki bobot.
Di sinilah
muncul problem, dalam menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat JIbril as
dan Buraq adalah makhluk berbadan cahaya, yang badannya tersusun dari
photon-photon yang sangat ringan. Karena itu tidak mengalami kendala untuk
bergerak dengan kecepatan cahaya yang demikian tinggi. Akan tetapi Rasulullah
saw adalah manusia biasa yang badannya tersusun dari atom-atom kimiawi yang
memiliki bobot atau massa. Tubuh kita tersusun
dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu organ-organ
tubuh-sel-sel-molekul-molekul (yang
sederhana sampai yang komplek, mulai H2O, rantai molekul asam amino,
protein-protein komplek lainnya)-atom-atom
(yang berjumlah milyaran yang tersusun
dari partikel-partikel sub atomik seperti proton, neutron, elektron dan lain
sebagainya). Seluruh bagian-bagian penyusun itu bergandengan satu sama lain
dengan menggunakan energi ikat, supaya tidak tercerai berai. Atom-atom
bergandengan membentuk sel-sel dan seluruh organ tubuh. Dan kemudian
organ-organ tubuh itu berkolaborasi membentuk badan kita. Sehingga manusia
menjadi berbobot cukup berat, yang tidak mungkin bisa mencapai kecepatan angin,
apalagi kecepatan cahaya, sebagaimana photon-photon. Untuk mencapai kecepatan
beberapa gravitasi Bumi saja, tubuh manusia sudah akan mengalami kendala serius
dan bisa meninggal dunia. Contoh : karena tubuh manusia akan mengalami pelipat-gandaan
bobot tubuh 2x gravitasi Bumi jika melawan 2 gaya gravitasi Bumi. Jika kita
naik lift yang kecepatannya agak tinggi, maka ketika lift itu bergerak naik,
otak kita terasa ada tekanan, ’nyuut’! karena kita melawan gravitasi Bumi. Jika
kecepatannya lebih tinggi lagi, maka rasa nyuutnya itu semakin besar, bisa-bisa
seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’ atau pingsan (black out).
Cerita tentang
kecepatan di atas adalah kecepatan-kecepatan yang masih tergolong rendah untuk
ukuran alam semesta. Itu saja badan manusia sudah tidak kuat menanggung berat
badannya yang naik 2x lipatnya atau lebih tergantung berapa banyak gaya
gravitasi yang dilaluinya. Apalagi jika kita bermain-main dengan kecepatan
cahaya yang per detiknya bisa mencapai 300.000 km. Sungguh badan manusia tidak
akan mampu menahannya. Efek yang bakal terjadi bukan hanya pingsan, tetapi
lebih dahsyat dari itu, badan manusia akan tercerai berai menjadi
partikel-partikel sub atomik sebelum mencapai kecepatan cahaya, Mengapa
bisa demikian? Karena tubuh manusia tersusun dari partikel-partikel sub atomik
yang saling bergandengan menggunakan binding energi alias ’energi ikat’.
Nah, ketika dipercepat dengan kecepatan sangat tinggi, maka muncullah gaya
yang berlawanan dengan energi ikat tersebut. Semakin tinggi kecepatan yang
diberikan kepada benda, maka energi
yang melawan binding energi atau energi ikat tersebut semakin besar, sehingga, suatu ketika
tubuh manusia itu akan ’buyar atau terburai’ menjadi
partikel-partikel kecil.
Hal inilah yang
bakal terjadi pada tubuh manusia yang melesat dengan kecepatan tinggi. Bahkan
jauh sebelum badan manusia terburai menjadi partikel-partikel sub atomik,
organ-organ tubuhnya sudah rusak duluan. Jantungnya berhenti berdenyut, diikuti
kesadaran yang menghilang dan kemudian disusul gagalnya fungsi seluruh
organ-organ tubuhnya. Dengan demikian, maka secara ilmiah memang sulit untuk
mengatakan bahwa Rasulullah saw melakukan perjalanan tersebut dengan badan
wadag-nya atau badan kasarnya yang normal. Nabi saw tidak akan bisa
bergerak sekencang Malaikat Jibril as dan Buraq, karena badannya memang bukan
terbuat dari cahaya. Isra’ Mi’raj Rasulullah saw memang tidak atas kemampuan
beliau saw sendiri, melainkan ‘diperjalankan’ oleh Allah Yang Maha
Perkasa dan Maha Berilmu. Salah satu ’skenario rekonstruksi’ untuk
mengatasi problem di atas, adalah teori Annihilasi. Teori ini
mengatakan bahwa setiap materi (zat) memilki anti materi, jika
materi dipertemukan (di-reaksikan) dengan anti materinya, maka ke-2 partikel
tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya (sinar gama). Misalnya
proton direaksikan dengan anti proton, elektron dengan positron (anti
elektron), maka ke-2 pasangan partikel tersebut akan lenyap dan
muncullah 2 buah sinar gama. Sebaliknya, jika ada seberkas sinar gama dilewatkan
medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi 2 buah
pasangan partikel yang kembali ke bentuk semula lagi.
Teori Annihilasi
digunakan untuk menjelaskan proses
perjalanan Rasulullah saw pada tahap 1. Agar Nabi saw dapat mengikuti kecepatan
Malaikat Jibril as dan Buraq, maka badan wadag Rasulallah saw diubah oleh
Allah menjadi badan cahaya. Hal ini dimaksudkan untuk ‘mengimbangi’ kualitas badan Rasulullah
saw dengan Malaikat Jibril as dan Buraq yang berbadan cahaya yang menjadi ‘kawan
seperjalanan’ beliau saw. Ini dilakukan sebelum beliau saw berangkat Isra’ Mi’raj,
yaitu ketika Malaikat Jibril as mengajak Nabi saw untuk menyucikan hatinya
dengan menggunakan air Zam-zam, Jibril as mengoperasi hati Nabi saw dan
menyucikannya dengan air Zam-zam. Mengapa hati Nabi saw yang disucikan oleh
Jibril as, karena manusia adalah sebuah sistem energi yang berpusatkan (gardu induk listriknya) di hati alias
jantung. Seluruh perubahan yang terjadi pada sistem energi tubuh seseorang bisa
tercermin di frekuensi hatinya. Sebaliknya, karena hati menjadi pusat sistem
energi, maka jika ingin melakukan perubahan terhadap sistem tersebut, juga bisa
dilakukan dengan ’mereaksikan’
hatinya. Inilah yang terjadi pada Rasulullah saw saat ‘dioperasi’ oleh Malaikat Jibril as di dekat sumur Zam-zam. Jibril
as melakukan manipulasi terhadap sistem energi dalam tubuh Rasulullah saw.
Seluruh badan wadag/materi/kasar Rasulullah saw di-Annihilasi oleh Jibril as menjadi badan
cahaya. Sebagai makhluk cahaya, Jibril as paham betul tentang
proses-proses Annihilasi. Maka dalam sekejap, tubuh materi Nabi saw pun berubah
menjadi tubuh cahaya. Dan beliau saw siap berangkat melakukan Isra’ bersama
Jibril as dan Buraq, sebab ke-3 nya telah memiliki kualitas badan yang sama,
yaitu badan cahaya. Maka Allah swt pun memperjalankan ke-3 nya menuju Masjidil Aqsha
di Palestina.
Mereka berangkat
dengan kecepatan cahaya sekitar 300.000 km/detik
menempuh jarak 1.500 km hanya dalam waktu sekitar 0,005 detik atau hanya
sekejap mata dalam ukuran waktu manusia. Rasulullah saw melakukan perjalanan
malam dengan kesadaran penuh. Adanya relatifitas waktu antara dunia manusia
dengan dunia malaikat yang sangat berbeda, menyebabkan beliau saw merasakan
sepenuhnya perjalanan tersebut. Sehingga segala peristiwa yang terjadi dalam
perjalanan itu, Nabi saw bisa mengingat dan menceritakan kembali. Bayangkan
seperti orang bermimpi, meskipun orang tersebut hanya mimpi 1 menit, tetapi dia
bisa bercerita tentang mimpinya yang ‘sangat panjang’. Mengapa demikian? Karena
waktu yang berjalan di dunia mimpi dan dunia nyata berbeda. Pada waktu itu Nabi
saw tidak sedang bermimpi, beliau saw betul-betul melakukan perjalanan dengan
badannya yang sudah berubah menjadi
badan cahaya. Karena ada relativitas waktu, maka waktu yang sekejap itu pun
bagi beliau saw sudah cukup untuk menangkap seluruh kejadian yang dialaminya, karena
Nabi saw sedang berada di dalam Alam Malakut, alamnya para malaikat. Maka tidak
heran, jika Nabi saw bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang kafir yang
ingin mengujinya, karena mereka tidak mempercayai apa yang telah dialami dan
diceritakan oleh Nabi saw. Di antaranya, Nabi saw bisa bercerita betapa dalam
perjalanan itu ada sekelompok kafilah atau pedagang yang unta dan kudanya lari
ketakutan, saat Rasulullah saw dan Jibril as melintas di dekat mereka. Para
kafilah itu tidak bisa melihat Rasulullah saw yang sudah berbadan cahaya,
tetapi unta-unta dan kuda-kuda mereka itu bisa merasakan kehadiran Rasulullah
saw, Jibril as dan Buraq yang melintas dengan kecepatan sangat tinggi atau
dengan kecepatan cahaya.
Jadi
kesimpulannya, mengapa badan kasar/wadag/materi Rasulullah saw harus diubah
oleh Allah menjadi badan cahaya adalah :
- Supaya tubuh materinya tidak buyar (hancur) menjadi partikel-partikel sub atomik ketika melesat dengan kecepatan cahaya dengan melawan gaya gravitasi Bumi.
- Supaya jika Rasulullah saw bertemu dengan Allah di Sidratul Muntaha tubuh materinya tidak hancur, karena badannya sudah menjadi badan cahaya, maka jika bertemu dengan Dzat Yang Maha Bercahaya menjadi kuat dan tidak hancur. Jika badan Nabi saw masih badan materi yang terbuat dari sari pati tanah dan tanah berasal dari Bumi, maka badannya tidak kuat menahan cahaya dari Allah Dzat Yang Maha Bercahaya, apalagi bertemu dengan Allah, jelas badan materinya lebih sangat tidak kuat lagi untuk bertahan. Jadi hanya manusia yang sudah berubah menjadi ruh saja yang bisa berjumpa dengan Allah di alam akhirat, karena ruh itu bersifat kekal, beda dengan tanah, asal mula manusia diciptakan yang bersifat fana.
- Supaya Rasulullah saw bisa mempunyai kesadaran penuh dan cukup bisa menangkap seluruh peristiwa yang telah dialaminya yang hanya sekejap mata itu, di dalam ukuran waktu manusia dan bisa dengan jelas dan gamblang menceritakan kembali pengalaman yang dialaminya tersebut tanpa terlupa sedikitpun.
- Supaya Rasulullah saw tidak mati kekurangan Oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh materinya karena di angkasa tidak ada Oksigen. Karena jika Nabi saw sudah berbadan cahaya, tubuh cahayanya tidak membutuhkan Oksigen lagi untuk bernafas.
- Hanya orang yang mencapai tingkat ‘hamba’, yang tubuhnya bisa diubah menjadi badan cahaya, karena mempunyai energi positif, makrifat dalam beragama dan cahaya Ilahiah yang sangat luar biasa tinggi karunia dari Allah dan orang yang memasrahkan hidupnya sepenuh-penuhnya hanya kepada kehendak Allah dengan meniadakan egonya, orang yang telah bisa mengaplikasikan kalimat Laa Ilaaha Illallaahu dengan sebenar-benarnya, orang yang paling mulia, paling suci dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah sajalah yang bisa mencapai tingkat hamba. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah memperjalankan Rasulullah saw dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.
Sumber : Terpesona di Sidratul
Muntaha oleh Agus Mustofa dan berbagai sumber.